Tulisan ini untuk melengkapi tuisan saya yang terdahulu yaitu perkembangan epidemiologi. Tidaklengkap rasanya mempelajari suatu illmu tanpa tahu sejarahnya. Oke lah, semoga tulisannnya bermanfaat. Salam Kesehatan..
I'm a Epidemiolog |
Epidemiologi tidak berkembang dalam ruang hampa. Aneka ilmu dan peristiwa, seperti
kedok- teran, kedokteran sosial, revolusi mikrobiologi, demografi, sosiologi, ekonomi, statistik, fisika, kimia, biologi molekuler, dan teknologi komputer, telah mempengaruhi perkembangan teori dan metode epidemiologi.
Perkembangan sejaraj epidemilogi dimulai hingga zaman yunani kuno hingga
epidemiologi klinik pada zaman sekarangini (Bhisma Murti,
2008).
A. Sejarah
Epidemiologi Yunani Kuno
1. Empedocles
(490–430 SM)
Empedocles adalah seorang filsuf pra-Socrates,
dokter, sastrawan, dan orator Yunani, yang tinggal di Agrigentum, sebuah kota di Sisilia. Para ahli sejarah menemukan sekitar 450 baris puisi karyanya yang ditulis pada daun papirus. Dari kumpulan puisi itu diketahui bahwa Empedocles memiliki pandangan tentang berbagai isu
yang berhubungan dengan biologi modern, khususnya biologi genetik dan molekuler tentang terjadinya
kehidupan, fisiologi
komparatif dan eksperimental, biokimia, dan ensimologi. Empedocles adalah
penggagas teori Kosmogenik Empat Elemen/ Akar Klasik (Classical Roots): bumi,
api, air, dan udara. Menurut Empedocles,
tumbuhan, binatang, termasuk manusia, diciptakan dari empat elemen itu. Jika
dikombinasikan dengan cara yang berbeda, maka kombinasi itu
akan menghasilkan aneka ragam spesies tumbuhan dan binatang di
muka bumi. Campuran keempat elemen itu merupakan basis biologi genetik
dan herediter
yang terwujud dalam organ atau
bagian tubuh manusia.
2. Aristoteles (384-322 SM).
Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal dari
Stagira. Anak seorang
dokter, Aristoteles merupakan murid
Plato.
Tetapi berbeda
dengan
gurunya dalam
penggunaan metode
untuk mencari pengetahuan, Aristoteles berkeyakinan, seorang dapat dan harus mempercayai panca-indera di dalam mengivestigasi pengetahuan dan realitas.
Tulisan Aristoteles mencakup aneka subjek. Tulisan resminya tentang anatomi manusia tidak diketemukan, tetapi banyak karyanya tentang binatang menunjukkan bahwa dia telah
menggunakan pengamatan langsung dan perbandingan anatomis
antar spesies melalui diseksi (penyayatan). Aristoteles memberikan fondasi bagi metode ilmiah.
Di sisi lain
Aristoteles juga melakukan sejumlah kekeliruan.
Dia mengkompilasi dan
memperluas karya para
filsuf alam Yunani sebelumnya,
dan
merumuskan hipotesis bahwa materi mati dapat ditransformasikan secara spontan oleh alam menjadi binatang hidup, dan proses itu bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Teori itu disebut Generasi
Spontan (―spontaneous generation‖, ―equivocal generation‖, abiogenesis), yang bertolak
belakang dengan teori
―univocal generation‖ (teori
reproduksi, biogenesis) bahwa kehidupan berasal dari
reproduksi benda hidup. Sampai duaratus tahun yang lampau sebagian ilmuwan klasik percaya kepada
vitalisme, suatu gagasan bahwa
materi mati seperti kotoran, rumput
mati, daging yang
membusuk, memiliki vitalitas
di dalamnya, yang
memungkinkan terciptanya kehidupan.
3. Humoralisme
Humoralisme atau Humorisme adalah teori yang menjelaskan bahwa tubuh
manusia diisi atau dibentuk oleh empat bahan dasar yang disebut humor (cairan). Keempat
humor itu adalah empedu hitam, empedu kuning, flegma (lendir), dan darah Pada orang yang sehat, keempat humor berada dalam keadaan seimbang. Sebaliknya semua penyakit
disebabkan oleh ketidakseimbangan humor, sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah satu dari keempat humor itu. Defisit itu bisa disebabkan oleh uap yang dihirup atau diabsorbsi
oleh tubuh.
Komunitas medis
Yunani,
Romawi,
dan kemudian
Muslim dan
Eropa
Barat, selama
berabad-abad
mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai
sebuah teori kedokteran populer selama
beberapa abad, terutama
karena pengaruh tulisan Galen
(131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari
keseimbangan
humor,
atau
eukrasia.
Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit.
4. Hippocrates
(377-260
SM)
Hippocrates adalah seorang filsuf dan dokter Yunani pasca- Socrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern. Hippocrates telah
membebaskan
hambatan
filosofis cara
berpikir orang-orang pada zaman
itu
yang bersifat
spekulatif
dan superstitif
(tahayul) dalam memandang kejadian penyakit. Hippocrates memberikan kontribusi besar dengan konsep kausasi penyakit yang dikenal
dalam epidemiologi
dewasa ini, bahwa penyakit terjadi karena interaksi antara ‗host-agent-environment‘ (penjamu- agen-lingkungan). Dalam
bukunya
yang "On Airs,
Waters and Places" (―Tentang Udara,
Air, dan Tempat‖) yang diterjemahkan Francis Adam, Hipoccrates mengatakan, penyakit terjadi karena
kontak dengan jazad hidup, dan berhubungan dengan
lingkungan eksternal maupun internal seseorang.
Pandangan
Hippocrates tentang kausa penyakit dipengaruhi oleh filsafat
Empat Elemen
dan Humoralisme Yunani kuno. Sebagai contoh,
Hippocrates menegaskan
peran penting iklim, sifat-sifat udara, angin, kualitas udara dan air, bagi kesehatan. Sebuah kutipan dari buku itu
menyebutkan, ―Whoever wishes to investigate medicine
properly should proceed thus: in the first place to consider
the seasons of
the
year,
and what effects each of
them
produces. Then the winds,the hot and the cold, especially
such
as are common to all countries, and then such as are
peculiar to each locality…‖ Artinya, siapapun yang ingin mempelajari ilmu kedokteran
dengan benar
hendaknya
melakukan langkah-langkah
sebagai berikut: pertama- tama pertimbangkan
musim
sepanjang
tahun
dan
efek yang dihasilkannya. Lalu angin, yang panas maupun
dingin,
terutama
yang
dialami oleh semua negara, lalu
yang dialami secara khusus oleh daerah setempat.
Kontribusi Hippocrates untuk
epidemiologi tidak
hanya
berupa pemikiran
tentang kausa
penyakit tetapi juga
riwayat
alamiah sejumlah penyakit. Dia mendeskripsikan
perjalanan
hepatitis akut pada bukunya
‗About Diseases‘: ―ikterus akut dengan cepat
menyebar…urine menunjukkan warna
agak kemerahan…panas tinggi, rasa tidak nyaman. Pasien meninggal
dalam waktu 4
hingga
10 hari‖ (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003).
Dalam
terminologi epidemiologi
sekarang, ―meninggal dalam
waktu 4 hingga 10 hari‖ sejak timbulnya gejala klinis merupakan durasi penyakit tersebut.
B. Era Romawi
1. Edward Jenner (1749–1823)
Edward Jenner adalah penemu metode pencegahan cacar yang lebih aman, disebut vaksinasi.
Pada Mei 1796
Jenner melakukan eksperimen pertamanya yang kemudian
menjadi sangat termashur. Jenner
menemukan seorang wanita muda
pemerah susu, Sarah Nelms, yang
tengah mengalami
lesi baru
cowpox
pada
lengan
dan tangannya.
Jenner mengambil pus (nanah) dari pustula pada pemerah susu itu dan mencangkokkannya pada lengan seorang anak berusia 8 tahun
bernama James Phipps.
Anak
tersebut mengalami demam ringan dan
ketidaknyamanan pada ketiaknya. Sembilan hari setelah prosedur anak itu mengalami kedinginan
dan
kehilangan selera makan, tetapi hari berikutnya merasa jauh lebih baik. Pada Juli 1796 Jenner melakukan inokulasi lagi, tetapi kali ini dengan materi segar dari lesi
cacar. Ternyata Phipps tidak mengalami penyakit cacar, sehingga Jenner mengambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah terlindungi dengan
sempurna.
C. Perkembangan Statistik
Vital
1. Jhon Graunt
John Graunt memanfaatkan
catatan kelahiran
dan kematian
untuk mempelajari fluktuasi epidemi sampar dan pengaruhnya
terhadap jumlah
penduduk dari tahun ke tahun. Graunt mengatakan bahwa kelahiran dan kematian sesungguhnya bervariasi secara teratur, karena itu dapat diramalkan. Lalu Graunt menciptakan sebuah tabel untuk
memeragakan berapa banyak individu dari sebuah
populasi terdiri atas 100
individu yang akan
bertahan hidup pada umur-umur tertentu. Tabel temuan John Graunt ini disebut ‗tabel hidup‘ (life table, tabel mortalitas).
Dengan
tabel hidup dapat
diprediksi jumlah
orang
yang akan mampu
melangsungkan hidupnya
pada
masing-masing
usia dan harapan
hidup
kelompok- kelompok orang dari
tahun ke
tahun.
D. Epidemiologi
Modern
1. John Snow (1813-1858).
Pada paroh pertama abad ke 19 terjadi pandemi kolera di berbagai belahan dunia. Epidemi kolera menyerang London pada tahun 1840an dan 1853-1854. Pada
zaman itu sebagian besar dokter berkeyakinan, penyakit seperti kolera dan sampar (The Black Death) disebabkan
oleh
‗miasma‘ (udara
kotor) yang
dicemari
oleh
bahan organik
yang membusuk. Seorang dokter bernama John Snow memiliki pandangan yang sama sekali berbeda
dengan dokter lainnya Pada waktu itu belum dikenal Teori Kuman (Germ Theory). Tetapi
berdasarkan
bukti-bukti yang ada, Snow yakin bahwa
penyebab penyakit
bukan karena
menghirup udara kotor.
Snow mengmeukakan
hipotesis bahwa penyebab
yang sesungguhnya adalah air
minum
yang
terkontaminasi tinja (feses).
Bersama dengan seorang dokter Inggris lainnya, William Farr,
dan
seorang
dokter Hungaria, Ignaz
Semmelweis,
John
Snow
dipandang
sebagai pendiri
epidemiologi modern.
Ketiga tokoh bersama-sama membawa epidemiologi dari ‗sekedar‘ berfungsi untuk
mendeskripsi
distribusi penyakit dan kematian pada populasi, menjadi epidemiologi yang
berfungsi untuk
menganalisis dan menjelaskan kausa
distribusi penyakit dan kematian pada populasi. Kontribusi epidemiologis ketiga tokoh tersebut mencakup konsep pengujian hipotesis, suatu metode ilmiah
yang diperlukan untuk memajukan sains
apapun.
2. William Farr
(1807-1883).
Farr memberikan dua buah
kontribusi
penting bagi epidemiologi, yaitu mengembangkan sistem surveilans kesehatan masyarakat,
dan
klasifikasi
penyakit yang seragam. Farr
mengembangkan
sistem pengumpulan data rutin statistik
vital
tentang jumlah dan penyebab
kematian, dan menerapkan data tersebut untuk mengevaluasi masalah kesehatan masyarakat, yang dewasa
ini dikenal sebagai surveilans kesehatan
masyarakat.
Surveilans kesehatan masyarakat menurut definisi sekarang adalah pengumpulan, analisis dan interpretasi
data
(misalnya, tentang
agen/ bahaya, faktor risiko, paparan, peristiwa kesehatan) secara
terus-menerus
dan sistematis, yang esensial untuk perencanaan,
implementasi, dan evaluasi praktik kesehatan masyarakat.
E. Teori Kuman (The Germ Theory)
1. Anton van
Leeuwenhoek (1632-1723).
Anton van Leeuwenhoek adalah penemu mikroskop. Leeuwenhoek menemukan banyak temuan yang sangat penting
dalam sejarah biologi.
Leeuwenhoek adalah orang
yang pertama kali
menemukan bakteri, parasit
yang hidup bebas bernama protista, nematoda dan rotifera mikroskopis, sel sperma, sel darah, dan lain-lain.
2. Louis Pasteur (1822 – 1895)
Dia dikenang karena terobosannya monumental di bidang kausa dan
pencegahan penyakit. Pasteur
memeragakan bahwa fermentasi (peragian) disebabkan oleh
pertumbuhan mikroorganisme.
Melalui eksperimen
Pasteur membuktikan bahwa
timbulnya bakteri
pada
agar nutrien bukan
disebabkan oleh Pertumbuhan
Spontan
melainkan proses biogenesis (omne
vivum
ex
ovo) melalui reproduksi.
Pertumbuhan
Spontan
(Spontaneous
Generation,
Equivocal Generation, abiogenesis) merupakan teori kuno bahwa
kehidupan
(khususnya penyakit) berasal dari benda mati, dan proses ini bisa terjadi pada kehidupan sehari-
hari.
Sumbangan Pasteur yang signifikan lainnya terletak pada
penemuan
cara yang efektif pencegahan penyakit infeksi. Pasteur menciptakan vaksin pertama untuk rabies, antraks, kolera,
dan
beberapa penyakit
lainnya. Temuan Pasteur tentang
vaksin
merupakan karya revolusioner, karena berbeda
dengan cara yang dilakukan
Edward
Jenner
sebelumnya, dia
menciptakan
vaksin secara artifisial. Pasteur tidak menggunakan materi virus
cacar sapi
dari sapi yang sakit, melainkan menumbuhkan virus pada kelinci,
lalu melemahkannya dengan
cara
mengeringkan
jaringan
syaraf
yang
terkena. Dengan cara yang sama Pasteur bersama seorang
dokter
Perancis
dan
rekan
Pasteur,
Emile Roux,
menciptakan vaksin rabies.
3. Robert Koch (1843-1910)
Robert Koch adalah serorang ahli bakteriologi Jerman.
Koch mengabdikan sebagian besar waktunya untuk melakukan studi mikroskopis tentang bakteri. Koch tidak hanya menciptakan metode pewarnaan dengan pewarna anilin tetapi juga teknik kultur bakteri, suatu teknik standar mikrobiologi yang masih digunakan
sampai sekarang.
Koch menemukan bakteri dan mikroorganisme
penyebab berbagai penyakit
infeksi.
F. Era Epidemiologi
Penyakit Kronis
1. Framingham Heart Study.
Dengan latar belakang masalah meningkatnya kejadian penyakit
kronis, khususnya penyakit kardiovaskuler, Pemerintah AS, Public Health Service menginstruksikan National Heart, Lung, and Blood Institute (pendahulu National Institute of
Health), untuk
memulai suatu projek
riset yang disebut Framingham Heart Study (FHS).
Tujuan studi epidemiologi ini adalah meneliti aneka faktor
risiko penyakit kardiovaskuler.
FHS
telah membuka pengetahuan
baru tentang prevalensi,
insidensi,
manifestasi klinis,
prognosis, dan faktor risiko predisposisi yang dapat diubah pada penyakit kardiovaskuler. FHS
menghasilkan banyak temuan monumental yang dewasa ini sudah diketahui umum, seperti efek
penggunaan rokok tembakau, diet
tak sehat, inaktivitas fisik, obesitas, kadar kolesterol tinggi, tekanan darah
tinggi, dan
diabetes, terhadap penyakit
kardiovaskuler. Kini
berdasarkan
pengetahuan tersebut, semua negara dapat memusatkan perhatiannya kepada upaya pencegahan
yang efektif untuk menurunkan beban penyakit kardiovaskuler dan penyakit utama non-menular lainnya. FHS
juga
telah mengubah dominasi paradigma
lama
Teori Kuman
bahwa kausasi
penyakit bersifat one cause one effect.. FHS memeragakan bahwa
etiologi penyakit non-infeksi bersifat
multifaktor yang tidak
dapat diterangkan dengan Teori Kuman. Paradigma
baru tentang kausasi yang disebut "multivariate risk"—faktor penyebab penyakit yang bersifat majemuk, telah
mempengaruhi perkembangan desain studi dan metode analisis data.
2. The British Doctors Study.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Framingham Heart
Study berlangsung suatu projek riset besar epidemologi lainnya di Inggris yang disebut The
British Doctors Study. The British Doctors Study merupakan sebuah studi kohor prospektif, dimulai 1951 hingga 2001. Studi ini dilatari dengan masalah epidemi kanker paru di Inggris.
Pada
waktu itu belum
diketahui dengan jelas
mengapa terjadi peningkatan
angka kejadian
kanker paru. Terdapat kecurigaan
tentang
kemungkinan
hubungan
antara
merokok dan berbagai penyakit tetapi belum ada bukti ilmiah yang mendukung hipotesis itu. Sampai pada
dekade 1950an merokok tidak
dianggap
sebagai suatu masalah kesehatan masyarakat.
3 Richard
Doll (1912-
2004).
Doll menyimpulkan: Risiko mengalami penyakit kanker paru meningkat secara proporsional dengan jumlah
rokok yang diisap.
Perokok yang mengisap 25 atau lebih sigaret memiliki
risiko 50 kali lebih besar daripada bukan perokok‖. Pada bagian lain Doll menyimpulkan, ―Merokok selama 30 tahun memberikan efek yang merugikan sekitar 16 kali lebih besar daripada merokok
15 tahun. Tidak seorangpun mempercayai hasil
riset mereka.
Hubungan dosis-respons yang
kuat antara kanker paru dan merokok sigaret, standar tinggi desain dan pelaksanaan studi, dan
penilaian yang seimbang terhadap temuan pada berbagai paper, berhasil meyakinkan komunitas
ilmiah dan badan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. MRC memberikan pernyataan resmi
yang sependapat dengan temuan
Doll dan Hill bahwa
merokok
menyebabkan
kanker
paru. Berdasarkan hasil
The British
Doctors
Study, pemerintah Inggris
mengeluarkan
pernyataan
resmi bahwa merokok berhubungan dengan angka
kejadian
kanker paru.
G. Epidemiologi
Sosial
Emile Durkheim (1858-1917) merampungkan studinya yang menghubungkan bunuh diri dengan
aneka keadaan psikopatologis (misalnya, kegilaan), ras, hereditas (keturunan), iklim, musim, perilaku imitatif,
faktor-faktor egoistik (misalnya, agama), altruisme (lebih memprioritaskan kebutuhan dan perasaan
orang lain ketimbang dirinya sendiri), anomie (instabilitas sosial),
dan
fenomena
sosial lainnya.
Topik hangat
lainnya dari epidemiologi sosial adalah pengaruh modal
sosial (social capital)
terhadap kesehatan.
Pengaruh modal sosial terhadap kesehatan individu dapat diterangkan dengan Teori Budaya/ Perilaku maupun Teori Materialis/ Strukturalis. Modal sosial merupakan sumber daya yang tersedia bagi individu-individu dan
masyarakat melalui
hubungan sosial. Modal sosial tidak hanya berwujud variabel psiko-sosial, disebut elemen ―kognitif‖, seperti kepercayaan (trust),
norma timbal-balik
(norms of reciprocity),
dan dukungan
emosional
(emotional support), tetapi juga faktor-faktor lain yang disebut elemen ―struktural‖, seperti
akses
terhadap pinjaman uang, pekerjaan dengan
imbalan
non-finansial
(in-kind), dan
akses kepada informasi. Teorinya, masyarakat dengan modal sosial tinggi memiliki tingkat kesehatan lebih
baik.
H. Epidemiologi
Nutris
Epidemiologi nutrisi adalah studi yang mempelajari faktor-faktor risiko
nutrisional yang mempengaruhi
status
kesehatan
dan
penyakit
pada
populasi manusia.
Epidemiologi nutrisi bukan merupakan barang baru.
Kini hasil
riset epidemiologi
nutrisi banyak dijumpai pada berbagai jurnal
internasional. Contoh, Mai et al. (2005) melaporkan hubungan antara kualitas diet dan insidensi
serta kematian karena kanker di kemudian hari pada sebuah kohor prospektif wanita. Kualitas
diet diukur menggunakan recommended food score (RFS). Dengan median follow-up 9.5 tahun, para peneliti
menyimpulkan, pola diet yang baik (skor RFS tinggi) berkorelasi dengan penurunan
kematian pada wanita, khususnya kematian karena kanker paru, kolon/ rektum, dan payudara. Insidensi kanker menurun pada kanker paru. Hasil penelitian konsisten dengan hipotesis bahwa
pola diet yang baik
dapat
menghambat progresi
kanker
dan
memperpanjang kelangsungan hidup.
I.
Epidemiologi Molekuler
Epidemiologi
molekuler merupakan cabang epidemiologi
yang
mempelajari
efek interaksi
gen-lingkungan
terhadap risiko terjadinya
penyakit. Epidemiologi molekuler berguna untuk mempelajari dengan
etiologi,
distribusi, dan pencegahan
penyakit pada keluarga dan lintas populasi.
Epidemiologi molekuler berguna
untuk meningkatkan pemahaman tentang patogenesis
penyakit dengan cara mengidentifikasi molekul dan
gen spesifik,
serta
mekanisme
yang
mempengaruhi risiko berkembangnyapenyakit.
Jika epidemiologi klasik menentukan
kerentanan genetik berdasarkan informasi antara
(surrogate information), misalnya
riwayat keluarga tentang kelainan genetik, maka epidemiologi molekuler menggunakan petanda moleku-
ler (molecular marker, biomarker) untuk menentukan kerentanan genetik.
Epidemiologi mole-
kuler menggunakan teknik molekuler seperti penjenisan DNA (DNA typing), biomarker dan genetika untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan mengukur berbagai struktur molekuler, baik normal,
varian, atau
rusak,
berkaitan
dengan penyakit
atau paparan
lingkungan. Berbeda dengan studi biologi molekuler, epidemiologi molekuler tidak sekedar mempelajari taksonomi molekuler,
filogeni, atau
genetika
populasi, tetapi juga
menerapkan
teknik-teknik molekuler
untuk mendiagnosis
dini
melalui
skrining
dan
melakukan
intervensi
segera
dalam rangka
mencegah dan mengendalikan penyakit
dengan lebih
efektif pada populasi.
J. Life-Course
Epidemiology
Life-course epidemiology (epidemiologi sepanjang hayat) adalah ilmu yang mempelajari efek jangka
panjang
paparan fisik dan sosial selama
gestasi,
masa
kanak-kanak, remaja, dewasa,
tua, terhadap risiko mengalami penyakit kronis. Epidemiologi sepanjang hayat
mempelajari mekanisme biologis, perilaku, dan psikososial yang beroperasi lintas perjalanan
hidup individu, bahkan lintas generasi, untuk mempengaruhi terjadinya penyakit kronis di usia dewasa.
Pendekatan sepanjang hayat
memberikan cara baru mengkonseptualisasi pengaruh determinan sosial dan lingkungan yang dialami pada berbagai fase perjalanan hidup terhadap perkembangan terjadinya penyakit kronis yang diperantarai oleh
proses
biologis spesifik
proksimal
(misalnya, hiperkolesterolemia,
hiperurisemia).
Pendekatan
sepanjang hayat
epidemiologi menggunakan perspektif multi
disipliner
– baik biologi, perilaku,
sosial,
maupun psikologi
-
untuk memahami
pentingnya
waktu dan timing terjadinya paparan, seperti pertumbuhan fisik, reproduksi, infeksi, mobilitas sosial, transisi
perilaku,
dan
sebagainya, terhadap perkembangan
terjadinya
penyakit
kronis
pada level individu dan populasi.
K. Epidemiologi klinik
Epidemiologi Klinik |
Epidemiologi tidak hanya bermanfaat untuk upaya peningkatan kesehatan masyarakat tetapi juga berguna dalam praktik individual kedokteran klinis. Penerapan konsep dan metode-metode
yang logis dan kuantitatif dari epidemiologi untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam pelayanan klinis kepada pasien, baik masalah diagnostik, prognostik, terapetik,
maupun
preventif, disebut epidemiologi klinik. Contoh 1, ketika seorang dokter mendengar adanya bising sistolik apikal, yakni bunyi jantung abnormal berasal dari bagian puncak (apeks) jantung ketika
jantung kontraksi,
bagaimana ia bisa mengetahui bahwa tanda itu mengindikasikan adanya
regurgitasi
mitral (yakni,
membaliknya aliran
darah
dari ventrikel kiri
ke
atrium
kiri)? Pengetahuan tersebut diperoleh bukan dari pengalaman memeriksa pasien, melainkan dari riset epidemiologi berbasis populasi yang
menemukan adanya korelasi
antara temuan-temuan auskul-
tasi tentang bunyi jantung abnormal tersebut dan temuan-temuan patologis atau autopsi pada
sekelompok
besar pasien.
Dalam perkembangan selanjutnya, awal tahun 90-an para tokoh epidemiologi klinik – Sackett, Haynes,
Guyatt,
dan
Tugwell
(1991) dan Evidence-Based Medicine Working Group (1992)
dari Kanada
dan
Amerika
Serikat memperkenalkan
konsep evidence-based medicine
(EBM). Evidence-based medicine menyediakan metode untuk memilih informasi yang bernilai
tinggi sehingga intervensi yang diberikan klinisi kepada pasien memberikan hasil yang optimal.
Dengan
―dipersenjatai‖ seperangkat metode EBM, para klinisi diharapkan mampu menelusuri hasil-hasil penelitian, melakukan
penilaian
kritis,
memadukan bukti-bukti
yang kuat secara
ilmiah, dan menerapkannya dalam keputusan praktik klinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar