Senin, 30 Januari 2012

RUMAH KITA, RUMAH KITA (SUDAHKAH MENJADI HOME ATAU SEKEDAR HOUSE) ???

“Selamat datang di kawasan hunian yang bervisi Baiti Jannati dengan misi Rahmatan Lil’alamin. Dibangun berdasarkan konsep minimalis dengan mengutamakan azaz-azaz efisiensi dan efektivitas serta pengoptimalisasian setiap sudut ruangan yang mencerminkan
kesederhanaan dan kebersahajaan hidup penghuninya. “Untaian kalimat di atas sepintas memang seperti promo dari sebuah developer hunian tapi bukan. Itu adalah sebuah refleksi terhadap rumah idaman saya di dunia, mungkin juga idaman sebagian orang yang mengutamakan esensi dan kesederhanaan. Sebuah rumah idaman yang tidak hanya sekedar house tapi juga home bagi penguhuninya.
Memang home dan house artinya sama-sama rumah. Namun berbeda peruntukannya dalam kalimat. Misalnya antara broken house dan broken home. Kalau broken house bangunan rumahnya yang rusak. Tapi kalau broken home, bisa jadi bangunan rumahnya tidak rusak, namun telah hilang perasaan cinta dan rindu antara penghuni rumah. Yang ada hanya kekakuan yang diselingi pertengkaran yang kemudian menghadirkan rasa sakit hati, benci, bahkan dendam. Itulah dia,rumah tangga yang hancur alias keluarga berantakan.
Jadi dapat dikatakan bahwa home lebih kepada suasana kejiwaan dan atmosfir yang terbangun dalam suatu rumah, tempat atau bangunan lainnya. Sehingga dapat dimaknakan home sebagai suatu tempat yang menawarkan rasa nyaman dan betah. Dengan demikian, di mana pun tempat kita beraktivitas, apakah itu di kantor kita, toko kita, ruang kelas kita, semuanya sebenarnya dapat kita `sulap’ menjadi home. Sehingga kita dan orang-orang yang juga beraktivitas di sana atau sekedar mampir, merasa nyaman dan betah. Dan, tentunya tempat paling utama yang harus kita jadikan home adalah rumah kita. Sehingga setiap penghuni rumah senantiasa rindu pulang. Terpatri pada diri mereka semboyan “No Place Like Home” (tidak ada tempat seperti (senyaman) di rumah. Atau yang lebih indah lagi, dengan ungkapan Baiti Jannati, rumahku syurgaku. Bagaimana tidak, indahnya jannah yang setiap orang rindu dan ingin pulang ke sana. Begitu juga bila rumah yang telah jadi menjadi `syurga’ dunia bagi penghuninya. Tentu selalu dirindu dan kalau sudah pergi ke tempat lain rasanya ingin cepat pulang untuk melepas segenap kepenatan dan melupakansegala kepedihan di luar sana.
Ukuran besar kecil rumah atau megah tidaknya rumah, sangatlah relatif. Yang utama adalah atmosfir yang menyelubungi rumah tersebut. Ada yang rumahnya white house bak istana tapi serasa neraka bagi penghuninya sehingga mereka mencari home-home lain di luar. Ada juga yang rumahnya KPR BTN RSS (Kredit Pemilikan Rumah Bangunannya Tidak Normal Rasanya Sempit Sekali), namun jannah bagi mereka. Tentu setiap orang mengidamkan rumah kalau bisa kombinasi antara bangunan yang baik dengan suasana psikologis dan atmosfir yang menyenangkan.
Rumah yang home bukanlah hotel yang meskipun nyaman tapi hanya untuk sekedar menginap. Juga bukanlah yang ruang makannya laksana restoran yang meskipun kursi makan dan menunya istimewa, namun hanya menawarkan suasana kaku dan formil, kering dari cinta, sepi dari canda, jauh dari pembelajaran dan kosong dari nasehat. Kata anak- anak pengajian, “Kagak ada ruhnya!”. Rumah yang home adalah rumah yang akan selalu menjadikan penghuninya dari waktu ke waktu semakin sholeh, cerdas, berakhlakul karimah dan semakin kuat rasa cinta dan rindu di antara mereka.

Saya berusaha memikirkan cirri-ciri home yang saya idamkan. Mungkin ini akan memberkan inspirasi bagi Anda, atau mungkin Anda sudah meraihnya, dan bahkan sudah melebihi yang saya pikirkan. Selamat, ya! Do’akan saya segera menyusul. Kira-kira poin-poin berikut inilah yang ingin saya hadirkan di home idaman saya :
  1. Tumbuh dan berkembangnya aktivitas ibadah. dalam arti an,Hal ini dapat dilihat dari ketaatan penghuni rimah akan perintah Allah dan hidupnya sunnah-sunnah Rasulullah.
  2. Tumbuh dan berkembangnya aktivitas keilmuan. Hal ini dapat ditandai dengan tersedianya sarana-sarana penunjang ilmu dan pengetahuan. Seperti adanya ruangan yang cukup representatif untuk diadakannya pengajian. Di satu pojoknya ada mini home library atau little book corner yang menyimpan berbagai koleksi buku, surat kabar, jurnal, majalah, kliping, atau artikel penting. Tersedianya sarana bermain anak yang edukatif. Tak kalah pentingnya adalah seperti home theatre yang mengoleksi berbagai CD dan VCD ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi seisi rumah. Terutama bagi putra- putri kita yang sedang berada dalam masa `the golden ages’mengingat sebagian besar acara TV yang semakin membuat resah orang beriman. Dan kalau memungkinkan, ada perangkat komputer yang connect ke internet agar memperoleh informasi yang luas dan cepat.
  3. Terpatrinya perilaku hidup bersih, rapi dan berdisiplin pada diri setiap penghuni rumah. Bila ada najis segera dibersihkan, tidak ada saluran yang mampet, kotoran yang mengendap atau bau yang tidak sedap. Barang-barang yang berserakan dan ruangan yang berantakan segera dirapikan. Seluruh anggota keluarga berdisiplin dan bertanggungjawab melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya.
  4. Adanya perhatian yang besar terhadap kesehatan. Terwujud dari penyusunan menu makanan yang halal, baik dan seimbang zat gizinya. Serta adanya jadwal untuk berolahraga. Dan diupayakan penyisihan dana untuk check up kesehatan.
  5. Melekatnya sikap sederhana dan bersahaja. Baik dalam makanan, minum, berpakaian, perkataan, dan gaya hidup, serta terbangunnya azaz-azaz efisiensi, efektivitas, optimalisasi dan kemampuan menyusun skala prioritas kehidupan.
  6. Orang tua, terutama Ayah, sang kepala keluarga mengayomi dan melindungi keluarga. Yang tercermin dari kegigihannya mencari nafkah yang halal. Bersama ibu berusaha menciptakan controlling system yang bekerja efektif agar putra-putri terlindungi dan jauh dari perilaku-perilaku menyimpang dan membahayakan aqidah, fisik, dan mental. Seperti pergaulan bebas, narkoba, bid’ah dholalah, fenomena homo/ transseksual (gay/ lesbi/ waria), dan lain-lain.
  7. Terbinanya suasana demokratis. Setiap anggota keluarga dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya. Berkembangnya iklim tausiyah. Tiada acara kumpul-kumpul keluarga melainkan senantiasa disisipi taujih.
  8. Seisi rumah memiliki sensitivitas terhadap lingkungan sekitar. Senantiasa menjalin dan menjaga silaturrahim dengan tetangga. Selalu terpanggil untuk bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan fardhu kifayah. Ayah dan anak laki-laki selalu shalat di mesjid. Serta memiliki perhatian terhadap lestarinya ekosistem.Demikianlah cirri-ciri home yang saya idamkan. Mudah-mudahan rumah Anda sudah menjadi home ataupun jannah bagi Anda dan keluarga. Sehingga Anda senantiasa merindukannya dan selalu ingin pulang. Tidak ada lagi keinginan untuk berlama-lama di warung kopi atau kafe. Enyahlah sudah ungkapan “Gue sebel di rumah” dari anak remaja kita. Bila setiap keluarga yang merupakan unit termungil pembentuk negara dan pembangun peradaban ini, telah menemukan home ataupun jannahnya. Dan telah berhasil menjadikan penghuninya dari waktu ke waktu semakin sholeh, solid, cerdas, dan berakhlak karimah. Maka insya Allah akan tercapailah seperti yang tercantum dalam QS 34:15, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin.
Oleh : Marina Lidya S. Pd